cerpen coba-coba


                                                                Untukmu Sahabat
                                                              oleh : Zelika Apriliani

            Namaku Lili. Aku terlahir dari keluarga sederhana. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga dan ayahku seorang karyawan swasta. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Jeje. Kami tinggal di sebuah kompleks perumahan, yang mayoritas penduduknya bukan pekerja kantoran.
            Seminggu yang lalu, kami kedatangan tetangga baru, pindahan dari luar kota. Keluarga itu lumayan ramah dan berada. Mereka mempunyai seorang anak perempuan. Mungkin usianya sama sepertiku. Tapi, satu hal yang membuatku merasa heran pada anak itu. Selama seminggu dia tinggal di kompleks ini, tidak pernah sekali pun aku melihatnya bermain bersama teman-teman di sini.
            Kemarin, aku mencoba menegur dan mengajaknya bermain bersamaku. Mungkin saja dia malu bila harus meminta kami bermain dengannya. Kebetulan, dia sedang duduk di teras depan rumahnya. Dengan langkah percaya diri, aku berjalan menuju rumah besar itu. Belum sampai aku di halaman rumahnya, anak itu sudah melihatku. Spontan aku memasang senyum termanisku padanya dan berpikir dia akan membalas senyumanku. Ternyata dugaanku salah. Dia malah masuk ke dalam rumahnya dan meninggalkanku begitu saja. Aku pun pulang dengan perasaan kecewa, tanpa memperoleh sapaan atau bahkan sekadar senyuman darinya.
            Ternyata, bukan hanya aku yang diperlakukan seperti itu. Tetapi, semua anak seusiaku di kompleks ini mendapat perlakuan sama. Sebenarnya apa yang terjadi pada anak itu? Aku jadi semakin penasaran. Aku mulai mencoba mencari tahu. Langkah pertama, aku bertanya pada ibuku. Mungkin saja ibu tahu karena ibu lumayan dekat dengan ibu anak itu.
“Bu, apa Ibu tahu kenapa anak tetangga baru kita bersifat aneh seperti itu?” tanyaku polos. Ibu malah balik bertanya.
“Aneh bagaimana yang kamu maksud? Ibu tidak mengerti.”
Gini loh, Bu, kemarin itu Lili mau ngajak dia main bareng Lili. Belum sampai Lili di depan rumahnya, eh, dia malah masuk ke dalam dan meninggalkan Lili begitu saja. Seolah-olah Lili pernah buat salah sama dia dan dia gak suka liat Lili. Lili jadi bingung, Bu,” jelasku dengan nada resah.
 “Kenapa begitu, ya Nak?” kembali ibu bertanya balik padaku.
Belum sempat aku menjawab kata-kata ibu, tiba-tiba Jeje adikku datang dan berkata sekenanya, “Mungkin sifatnya memang sombong kali, Kak. Maklumlah dia kan anak orang kaya.”
Ibu langsung menyela. “Husshh.. sudah..sudah.. kalian tidak boleh berprasangka buruk terhadap orang lain, tidak baik. Mungkin saja dia masih malu untuk bergaul karena dia kan baru tinggal di sini.”
Apa yang ibu katakan ada benarnya juga. Mungkin saja anak itu masih malu. Tapi, rasanya aku belum puas dengan jawaban ibu. Aku harus mencari tahu jawabannya dengan caraku sendiri.
***
            Hari demi hari kulalui dihantui perasaan bingung dan tanda tanya. Aku mulai menyiapkan sejumlah rencana. Yang pertama, aku harus mengetahui terlebih dahulu nama anak itu. Yang kedua, aku harus tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada anak itu sehingga ia selalu menutup diri.
            Hari ini ibuku memasak banyak sekali kolak pisang. Seperti biasa aku kebagian jatah mengantarkannya ke tiap-tiap rumah tetanggaku. Satu per satu rumah kudatangi dan memberikan semangkuk kolak pisang untuk mereka. Rumah terakhir yang kukunjungi adalah rumah tetangga misteriusku itu.
Dari kejauhan terlihat rumah itu seperti tak ada penghuninya. Saat aku tiba di halaman rumah, pintunya tertutup rapat. Aku mulai mengetuk. Berharap ada orang di dalam rumah itu yang mendengar ketukanku. Tak lama berselang, tante Diana muncul dari balik pintu.
“Assalamualaikum tante,” sapaku ramah.
“Waalaikumsalam. Eh, ada Lili. Ada apa Li?” tanya tante Diana.
 “Ini tante, ada sedikit kolak pisang untuk tante. Dimakan ya, tante. Dijamin enak,kataku sambil tersenyum percaya diri.
“Terima kasih ya, Lili. Pasti tante makan kok sayang. Sampaikan juga ucapan terima kasih tante pada ibumu,” jawab tante Diana.
Aku pikir inilah saatnya aku bertanya sedikit tentang anak itu.
“Oh iya tante, anak Tante mana? Kok, tidak kelihatan dari tadi?” tanyaku pada tante Diana.
“Cika maksud kamu? Dia sedang di rumah neneknya. Biasalah, mumpung libur,” jawab Tante Diana singkat.
 “Oh,gitu ya Tan. Ya udah deh. Lili pulang dulu ya tante. Assalamualaikum,” ucapku .
“Waalaikumussalam,” jawabnya.
Sekarang aku sudah tahu nama anak itu. Cika. Ya, Cika namanya. Rencana pertama pun berhasil. Tinggal rencana kedua. Aku pulang dengan perasaan setengah lega. Kebetulaan saat ini sedang libur semester. Jadi, aku tidak begitu repot untuk mencari tahu tentang masalah ini.
***
Liburan kali ini aku benar-benar kesepian. Kedua sahabatku pergi ke luar kota untuk berlibur sehingga aku sendirian melewati liburan tahun ini. Tanpa ada jalan-jalan, tanpa ada petualangan. Aku hanya membantu ibu membersihkan rumah. Meskipun begitu, aku bahagia karena memiliki keluarga yang selalu ada untukku.
Dua hari sudah aku tidak melihat Cika. Mungkin saja dia masih di rumah neneknya. Inilah saat yang tepat untuk ke rumah tante Diana dan berpura-pura menanyakan keberadaan Cika sekarang.
“Assaamualaikum tante,” sapaku pada tante Diana.
“Waalaikumsalam. Eh, Lili. Ada apa Li?” tanya tante Diana.
“Cikanya ada tante?” tanyaku.
“Cika masih di rumah neneknya Li, liburan kan masih panjang. Mungkin dua hari lagi dia pulang, Li,” jawab tante Diana.
“Oh, gitu ya Tan, betah sekali Cika di sana,” jawabku penuh perhatian.
“Iya Li. Sebenarnya Cika masih merasa kehilangan. Sekitar satu bulan yang lalu, sahabat karibnya meninggal dunia. Dia benar-benar shock dan seakan tidak mau menerima kenyataan bahwa sahabatnya itu sudah tidak ada lagi. Sejak saat itulah Cika lebih memilih untuk tidak berhubungan dekat dengan siapapun karena dia takut akan kehilangan orang yang dia cintai untuk kedua kalinya. Sejak saat itu juga Cika sering sakit-sakitan. Tante juga bingung memikirkannya, Li,” cerita tante Diana padaku. Matanya tampak berkaca-kaca.
Aku sendiri tak kuasa menahan perasaan haru mendengar cerita tante Diana. Ternyata inilah yang menjadi penyebab ketertutupan Cika.  Ternyata Cika tidak seperti yang aku pikirkan selama ini.
“Begitu, ya Tante ceritanya. Kasian sekali Cika, harus melewati semua ini. Tante yang sabar, ya. Insya Allah ada jalan keluarnya Tante. Lili janji akan berusaha membuat Cika ceria lagi Tante,” ucapku tulus menghibur Tante Diana. Kami menutup obrolan sore itu masing-masing masih dengan perasaan sedih campur haru.
***
            Hari yang kutunggu pun tiba. Cika pulang dari rumah neneknya. Dua puluh menit kemudian aku bergegas ke rumahnya. Sampai di sana, Cika masih diam dan berkata seperlunya saja hingga akhirnya benar-benar tak mengeluarkan suara. Namun, aku tidak kecewa karena aku sudah mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi pada Cika. Tante Diana masuk ke ruang tamu tempat aku dan Cika saling berdiam diri. Ia memberikan senyuman pada Cika. Lalu berpaling padaku dan kembali tersenyum. Tersirat harapan di balik senyum itu agar aku mampu memenuhi janjiku.
Kejadian yang sama berulang hingga beberapa kali pertemuan kami di rumah Cika. Aku nyaris saja putus asa sampai suatu sore yang cerah, aku dikejutkan dengan sebuah suara yang sudah tak asing lagi di telingaku. Cika mengajakku mengerjakan tugas matematika bersama. Sehari sebelumnya aku memang mengeluhkan kemampuanku dalam pelajaran matematika. Aku sudah mencari tahu bahwa Cika selalu memperoleh nilai sempurna dalam mata pelajaran yang membuat banyak siswa kerap ciut itu. Seperti biasa Cika hanya menanggapi dingin permintaanku agar ia membantu mengerjakan tugas matematikaku. Entah apa yang mendorong Cika hingga akhirnya mau menolongku yang menjadi momen dimulainya persahabatan kami. Sejak itu, kami mulai dekat dan selalu bersama. Cika teman yang sangat baik. Aku benar-benar merasa memiliki sahabat sejak berteman dengannya. Kecocokan dan saling pengertian di antara kami membuat kami betah berlama-lama dan ke mana-mana berdua. 
***
            Liburan semester datang lagi. Tepat pukul satu siang, aku mendapat telepon dari seseorang. Jam segitu adalah jam istirahatku. Apalagi di hari libur seperti ini. Ditambah Cika tak ada di rumah karena pergi ke pantai bersama keluarga besarnya yang baru datang dari luar kota. Dengan malas aku mengangkat telepon.
“Halo, selamat siang. Dengan siapa ini?”
Terdengar suara perempuan yang kukenal baik. Tapi, ia bicara dengan suara meringis dan terbata.
“Li, ini, ini, tante Li, tante Diana. Tante sedang di rumah sakit, Li. Kamu bisa datang ke sini sekarang Li?” tiba-tiba telepon terputus.
“Halo? halo? Tante, Tante Diana, halo? halo?”
Usahaku sia-sia. Telepon itu sudah ditutup. Aku panik dan bingung harus bagaimana. Untunglah ada ibu yang menenangkanku. Dengan perasaan yang campur aduk, ayah dan ibu menemaniku ke rumah sakit untuk memenuhi permintaan tante Diana.  
***
Keadaan Cika sangat parah. Semua luka di sekujur tubuhnya harus dijahit. Bahkan, kaki sebelah kanannya juga harus diamputasi karena tulang di dalamnya remuk. Mungkin tertimpa besi berat. Dari paman Cika yang hanya mengalami luka ringan, aku mendengar kronologis kecelakaan tragis itu. Ternyata Cika dan keluarganya tak sampai ke pantai hari itu karena dua mobil yang ditumpangi mereka mengalami kecelakaan beruntun. Dua  mobil itu terjepit oleh satu mobil truk di bagian depan dan satu mobil tanki di bagian belakang hingga kondisinya tak dapat lagi dibayangkan. Namun, hanya Cika yang mengalami luka paling parah.
Air mata terus mengalir di pipiku. Aku tak mampu lagi berpikir. Ayah dan ibu memapahku ke ruang UGD tempat Cika terbaring lemah. Di sampingnya ada tante Diana yang tangan, kaki, dan kepalanya dipenuhi balutan perban.
“Lili,” kata tante Diana lirih setelah melihatku.
“Tante,” kataku terbata. Tak kusadar aku langsung memeluknya. Kami menangis tak kuasa menahan pilu.
“Cika sempat sadar beberapa menit dan meminta Lili datang ke sini. Tapi, sekarang Cika tidak sadarkan diri lagi, Li,” ucap Tante Diana sambil tersedu.
“Tante sabar, ya.” Sebetulnya kata-kataku kutujukan pada diriku sendiri.
Baru beberapa detik aku menyelesaikan kata-kataku, jemari Cika tampak bergerak. Terdengar lirihan lemah dari mulutnya yang tertutup masker oksigen. Aku beranjak mendekatinya. Kuraih dan kugenggam jemari tangannya. Matanya masih tertutup. Tapi tersirat seolah ia mengetahui kehadiranku.  
“Cika,” lirihku pelan.
Kali ini bibirnya tampak menyunggingkan senyum. Beberapa saat kemudian aku merasakan ia membalas genggaman tanganku. Cika memegang erat tanganku sambil tetap tersenyum. Aku merasa mendapat kekuatan seperti yang selama ini selalu Cika berikan di setiap kebersamaan kami. Dengan kecerdasan dan kebaikan hatinya, Cika memang selalu mampu menjadi motivator bagiku. Hal yang sebelumnya kukira bisa kuberikan padanya.
Saat pikiranku menerawang. Tiba-tiba genggaman tangan Cika melemah. Alat deteksi jantung di samping tempat tidurnya berbunyi nyaring dan panjang. Semua yang ada di ruang itu memanggil namanya. Aku tak kuasa menahan diri. Tangisanku meledak. Dokter yang berusaha memacu jantung Cika hanya terlihat pasrah. Cika tak tertolong. Cika pergi meninggalkanku untuk selamanya. Senyum terakhir Cika masih menghias di bibirnya. Ia seolah menyampaikan pesan bahwa kematian pasti akan terjadi. Perpisahan adalah suatu keharusan yang tak dapat dielakkan. Cika pergi meninggalkan banyak kenangan yang tak tahu harus kubagi pada siapa. Aku tak tahu apakah aku mampu membangun kembali sebuah persahabatan.
***

Komentar

Populer Post